Thursday 18 August 2016

Melayani, bukan Pelayan. Membantu, bukan Pembantu.

Kalian pasti pernah datang ke sebuah bioskop untuk menonton film yang kalian suka atau hanya sekedar mengisi waktu luang mencari hiburan. Datang kesana membeli tiket atau snack dan minuman untuk menemani kalian saat menonton film. Tentu akan ada karyawan/karyawati bioskop yang membantu dan melayani kalian selagi kalian di bioskop tersebut.

Sudah satu bulan terakhir aku bekerja part time di salah satu bioskop di Jakarta. Aku ditempatkan di bagian tiket dan snack. Tugasku membantu dan melayani customer bioskop tersebut dalam pemilihan film, tempat duduk, sampai menyiapkan snack yang mereka beli. Selama satu bulan pula aku menemui berbagai macam customer. Yah benar-benar berbagai macam, ada yang memperlakukanku dengan baik sampai dengan kurang baik.

Sebelum aku lanjutkan tulisanku, perlu kuingatkan kalian kalau aku menulis ini bukan untuk menjelekkan pihak tertentu. Aku hanya ingin berbagi cerita lewat sudut pandangku.

Kejadian ini baru saja ku alami. Kemarin, saat libur hari nasional 17 Agustus aku tetap masuk kerja walaupun di kalender tertera jelas angka berwarna merah. Untuk tempat kerjaku, justru tanggal merah adalah saat dimana jumlah customer yang datang melonjak. Selama satu bulan kerja, baru kali ini aku merasakan bekerja pada hari libur nasional. Benar saja, jumlah customer yang datang sangat banyak, antrean panjang pun tak dapat dihindari.

Bagi aku dan teman tempat ku bekerja, antrean panjang seperti ini tidak boleh dibiarkan. Kami pun bekerja lebih ekstra dan dalam proses transaksi kami tak boleh terlalu lama, jangan sampai customer mengantre terlalu lama. Ku beri tahu pada kalian, ada beberapa customer yang bisa berlaku kurang baik pada ku setelah merasa mengantre terlalu lama.

Biasanya aku bertugas melayani penjualan tiket dan snack namun pada hari itu aku hanya bertugas melayani penjualan tiket. Aku pun beberapa kali mengingatkan dengan suara yang cukup keras ke customer bahwa pos tempatku bertugas hanya menjual tiket, ini ku lakukan untuk menghindari customer yang salah antre. Tak tega juga bila mendapati customer yang ingin membeli snack sudah mengantre dan menunggu di posku.

Ku bantu satu persatu customer dalam pembelian tiket. Sampailah pada customer1 yang ingin membeli snack mengantre di posku. Tak tega aku menyarankan customer1 tersebut untuk mengantri ulang di pos lain dan karena aku masih terbilang baru dan tak berani mengambil keputusan, aku pun mencari jalan keluar dan bertanya kepada senior tempatku bekerja yang bertugas di pos tepat sebelahku. Seniorku diam sejenak dan bertanya pada customer2 yang ada di depannya, apakah customer2 tersebut ingin membeli tiket atau snack atau bahkan keduanya. Ternyata customer2 hanya ingin membeli tiket, seniorku pun menyarankan agar customer1 dan customer2 betukar posisi antre. Saat customer1 berpindah untuk bertukar antrean, customer3 yang berada tepat di belakang customer1 langsung maju ke posku. Aku pun meminta dengan baik-baik agar customer3 menunggu sebentar, karna aku akan terlebih dahulu membantu proses pembelian tiket customer2. Customer3 memasang muka marah dan mengumpat ke arahku, lalu ia keluar dari antrean. Sesaat kemudian aku melihat ia memegang ponselnya dan memotretku. Aku yang masih shock atas perlakuan dan umpatan yang dilayangkannya tersebut pun sempat diam sejenak. Aku hanya tak mengerti untuk apa customer3 melakukan itu.

Suara seniorku menyadarkanku lalu mengingatkan dan menenangkanku agar kembali fokus bekerja karena bagi pekerja seperti kami hal tersebut sudah lumrah. Kami harus memaklumi kalau-kalau kami menemukan kembali customer yang memperlakukan kami seperti itu. “Mereka hanya sedang emosi saja”, begitu kata seniorku.

Malam setelah bekerja, aku menceritakan hal yang ku alami tadi kepada teman-teman tempat kerjaku yang lainnya. Tak disangka, mereka pun juga sudah pernah mengalami hal serupa. Dapat dikatakan sudah sering mereka alami, bahkan temanku bukan lagi hanya dipotret namun direkam oleh customer. Banyak cerita yang ku dengar dari teman-teman yang lainnya. Ternyata kejadian yang ku alami tak ada apa-apanya dibandingkan dengan apa yang sudah mereka alami. Salah satu teman ku pernah sampai menangis karena diteriaki customer di depan umum, “Kamu ini sok pintar, tapi sebenarnya kamu ini tidak pintar!”. Temanku yang lainnya bahkan dibilang ‘tidak sekolah’ oleh customer.

Aku setelah mendengar cerita-cerita tersebut hanya bisa geleng-geleng kepala. Aku tak mengerti, apa yang kami lakukan sehingga kami mendapatkan perlakun seperti itu? Setahu ku, kami selalu memberikan pelayanan kami yang terbaik. Tak peduli latar belakang, penampilan atau uang yang customer bawa. Mengapa seakan pekerja seperti kami adalah orang-orang rendah yang bodoh dan pendidikannya tidak cukup tinggi. Yang membuatku makin geleng-geleng kepala adalah kami tak bisa berbuat apa-apa, kami tak bisa melawan balik, kami hanya bisa diam, menelan kekesalan diperlakukan tidak baik, dan lalu kembali bekerja. Memasang wajah kami yang paling ramah.

Mungkin kalian pernah melihat seorang customer yang complain dengan nada dan suara tinggi ke seorang pelayan, namun sepertinya hal tersebut akan dianggap biasa. Berbeda apabila seorang pelayan melawan balik customer yang berbuat tidak menyenangkan, kemungkinan pelayan itu akan dikeluarkan dari pekerjannya atau bahkan hancur juga karirnya.

Mana rasa empati dan simpati yang dimiliki masing-masing pribadi? Tidak bisakah kita saling mengerti? Jangan mengikuti ego, kalau memang salah tolong ingatkan aku. Dan salah satu yang dapat ku ingatkan kepad kalian, ‘Melayani bukan berarti Pelayan. Membantu bukan berarti Pembantu’.


No comments:

Post a Comment