Kalian pasti pernah
datang ke sebuah bioskop untuk menonton film yang kalian suka atau hanya
sekedar mengisi waktu luang mencari hiburan. Datang kesana membeli tiket atau
snack dan minuman untuk menemani kalian saat menonton film. Tentu akan ada
karyawan/karyawati bioskop yang membantu dan melayani kalian selagi kalian di
bioskop tersebut.
Sudah satu bulan
terakhir aku bekerja part time di salah satu bioskop di Jakarta. Aku
ditempatkan di bagian tiket dan snack. Tugasku membantu dan melayani customer
bioskop tersebut dalam pemilihan film, tempat duduk, sampai menyiapkan snack
yang mereka beli. Selama satu bulan pula aku menemui berbagai macam customer.
Yah benar-benar berbagai macam, ada yang memperlakukanku dengan baik sampai
dengan kurang baik.
Sebelum aku lanjutkan
tulisanku, perlu kuingatkan kalian kalau aku menulis ini bukan untuk
menjelekkan pihak tertentu. Aku hanya ingin berbagi cerita lewat sudut
pandangku.
Kejadian ini baru saja
ku alami. Kemarin, saat libur hari nasional 17 Agustus aku tetap masuk kerja
walaupun di kalender tertera jelas angka berwarna merah. Untuk tempat kerjaku,
justru tanggal merah adalah saat dimana jumlah customer yang datang melonjak.
Selama satu bulan kerja, baru kali ini aku merasakan bekerja pada hari libur
nasional. Benar saja, jumlah customer yang datang sangat banyak, antrean
panjang pun tak dapat dihindari.
Bagi aku dan teman
tempat ku bekerja, antrean panjang seperti ini tidak boleh dibiarkan. Kami pun
bekerja lebih ekstra dan dalam proses transaksi kami tak boleh terlalu lama, jangan
sampai customer mengantre terlalu lama. Ku beri tahu pada kalian, ada beberapa
customer yang bisa berlaku kurang baik pada ku setelah merasa mengantre terlalu
lama.
Biasanya aku bertugas
melayani penjualan tiket dan snack namun pada hari itu aku hanya bertugas
melayani penjualan tiket. Aku pun beberapa kali mengingatkan dengan suara yang
cukup keras ke customer bahwa pos tempatku bertugas hanya menjual tiket, ini ku
lakukan untuk menghindari customer yang salah antre. Tak tega juga bila
mendapati customer yang ingin membeli snack sudah mengantre dan menunggu di
posku.
Ku bantu satu persatu
customer dalam pembelian tiket. Sampailah pada customer1 yang ingin membeli
snack mengantre di posku. Tak tega aku menyarankan customer1 tersebut untuk
mengantri ulang di pos lain dan karena aku masih terbilang baru dan tak berani
mengambil keputusan, aku pun mencari jalan keluar dan bertanya kepada senior
tempatku bekerja yang bertugas di pos tepat sebelahku. Seniorku diam sejenak
dan bertanya pada customer2 yang ada di depannya, apakah customer2 tersebut
ingin membeli tiket atau snack atau bahkan keduanya. Ternyata customer2 hanya
ingin membeli tiket, seniorku pun menyarankan agar customer1 dan customer2
betukar posisi antre. Saat customer1 berpindah untuk bertukar antrean,
customer3 yang berada tepat di belakang customer1 langsung maju ke posku. Aku
pun meminta dengan baik-baik agar customer3 menunggu sebentar, karna aku akan
terlebih dahulu membantu proses pembelian tiket customer2. Customer3 memasang
muka marah dan mengumpat ke arahku, lalu ia keluar dari antrean. Sesaat
kemudian aku melihat ia memegang ponselnya dan memotretku. Aku yang masih shock
atas perlakuan dan umpatan yang dilayangkannya tersebut pun sempat diam sejenak.
Aku hanya tak mengerti untuk apa customer3 melakukan itu.
Suara seniorku
menyadarkanku lalu mengingatkan dan menenangkanku agar kembali fokus bekerja
karena bagi pekerja seperti kami hal tersebut sudah lumrah. Kami harus
memaklumi kalau-kalau kami menemukan kembali customer yang memperlakukan kami
seperti itu. “Mereka hanya sedang emosi saja”, begitu kata seniorku.
Malam setelah bekerja,
aku menceritakan hal yang ku alami tadi kepada teman-teman tempat kerjaku yang
lainnya. Tak disangka, mereka pun juga sudah pernah mengalami hal serupa. Dapat
dikatakan sudah sering mereka alami, bahkan temanku bukan lagi hanya dipotret
namun direkam oleh customer. Banyak cerita yang ku dengar dari teman-teman yang
lainnya. Ternyata kejadian yang ku alami tak ada apa-apanya dibandingkan dengan
apa yang sudah mereka alami. Salah satu teman ku pernah sampai menangis karena
diteriaki customer di depan umum, “Kamu ini sok pintar, tapi sebenarnya kamu
ini tidak pintar!”. Temanku yang lainnya bahkan dibilang ‘tidak sekolah’ oleh customer.
Aku setelah mendengar
cerita-cerita tersebut hanya bisa geleng-geleng kepala. Aku tak mengerti, apa
yang kami lakukan sehingga kami mendapatkan perlakun seperti itu? Setahu ku,
kami selalu memberikan pelayanan kami yang terbaik. Tak peduli latar belakang,
penampilan atau uang yang customer bawa. Mengapa seakan pekerja seperti kami
adalah orang-orang rendah yang bodoh dan pendidikannya tidak cukup tinggi. Yang
membuatku makin geleng-geleng kepala adalah kami tak bisa berbuat apa-apa, kami
tak bisa melawan balik, kami hanya bisa diam, menelan kekesalan diperlakukan
tidak baik, dan lalu kembali bekerja. Memasang wajah kami yang paling ramah.
Mungkin kalian pernah
melihat seorang customer yang complain dengan nada dan suara tinggi ke seorang
pelayan, namun sepertinya hal tersebut akan dianggap biasa. Berbeda apabila
seorang pelayan melawan balik customer yang berbuat tidak menyenangkan,
kemungkinan pelayan itu akan dikeluarkan dari pekerjannya atau bahkan hancur
juga karirnya.
Mana rasa empati dan simpati yang
dimiliki masing-masing pribadi? Tidak bisakah kita saling mengerti? Jangan mengikuti ego, kalau memang salah tolong ingatkan aku. Dan salah
satu yang dapat ku ingatkan kepad kalian, ‘Melayani bukan berarti Pelayan.
Membantu bukan berarti Pembantu’.